ASAL
USUL NAMA GIRILAWUNGAN
Girilawungan
adalah nama sebuah kerajaan yang
pernah ada di tanah Sunda,
tepatnya di Majalengka, Jawa Barat.
Istilah “girilawungan” berasal dari kata ngalawung dalam bahasa Sunda, yang berarti “berhadap-hadapan”. Menurut cerita, pernah terjadi suatu peristiwa
ngalawung di sebuah tempat
sehingga tempat itu kemudian dinamakan Girilawungan. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam ceria Asal Usul Nama
Girilawungan.
Dahulu
di tanah Pasundan, ada seorang raja bernama Pangeran Giri Layang. Ia masih
keturunan Raja Pajajaran. Pangeran Giri Layang adalah seorang raja yang arif
dan bijaksana. Dalam memerintah negara, ia dibantu oleh adik perempuannya yang
bernama Putri Giri Larang dan seorang patih bernama Endang Capang.
Suatu
hari, Pangeran Giri Layang sedang bercakap-cakap dengan adiknya di pendopo
istana. Putri Giri Layang berkata kepada kakaknya,
“Kanda,
Dinda ingin mengatakan sesuatu. Tapi, sebelumnya Dinda mohon maaf jika nantinya
ada perkataan Dinda yang menyinggung perasaan Kanda,” kata Putri Giri Larang.
“Ada apa
yang ingin kamu katakan, Adikku?” ujar Pangeran Giri Layang,
“Begini,
Kanda. Dinda sudah lama membantu Kanda mengelola negeri ini dan sudah banyak
pula ilmu yang Dinda peroleh dari Kanda. Tapi, Dinda merasa perlu banyak
belajar lagi. Sekiranya Kanda mengizinkan, Dinda ingin pergi merantau untuk
menambah ilmu.”
Mendengar
permintaan itu, Pangeran Giri Layang tertegun. Ia merasa amat berat melepas
kepergian adiknya. Namun, tak ada alasan baginya untuk menolak permintaan
tersebut. Ia pun mengelus-elus kepala adiknya, lalu berkata.
“Adikku,
engkaulah satu-satunya yang Kanda sayangi. Tapi, jika itu sudah menjadi
tekadmu, Kanda merestui kepergian Dinda. Semoga Dinda tidak mendapat rintangan
apa pun,” kata Pangeran Giri Layang, “Ingat pesan Kanda, jika berjalan ke arah
timur, Dinda jangan sampai melampaui perbatasan.”
“Baik,
Kanda. Terima kasih atas doa restu Kanda,” ucap Putri Giri Larang.
Keesokan
paginya, Putri Giri Larang bersiap-siap. Setelah berpamitan kepada kakaknya,
berangkatlah ia menuju ke arah timur dengan berjalan kaki seorang diri. Setelah
berbulan-bulan keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, serta mendaki gunung
dan lembah, sampailah ia di sebuah hutan belantara yang sepi. Hanya suara-suara
binatang hutan yang terdengar saling bersahut-sahutan.
Putri
Giri Larang terus berjalan di antara pepohonan. Alangkah terkejutnya sang
Putri, ia menemukan sebuah taman yang indah di pedalaman hutan. Di tengah taman
itu terdapat sebuah kolam yang airnya sangat jernih. Kolam itu dikelilingi pula
tanaman bunga yang beraneka warna. Putri pun tak kuasa menahan rasa kagum
menyaksikan pemandangan itu.
“Oh,
pemandangan yang sungguh indah. Tapi, kenapa ada taman di tengah hutan ini?”
heran sang Putri, “Siapa yang membuatnya?”
Putri
Giri Larang duduk di pinggir kolam lalu merendam kedua kakinya ke dalam air.
Setelah merasakan kesejukan air itu, ia lalu berpikiran ingin mandi.
“Sebaiknya
aku mandi saja di kolam ini untuk menghilangkan rasa letih,” gumamnya.
Sang
Putri pun segera menanggalkan pakaian dan meletakkannya di pinggir kolam. Ia
lalu mencebur ke dalam kolam dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Sejuknya
air kolam itu terasa menusuk hingga ke ubun-ubunnya.
Ketika
sang Putri sedang asyik berendam di kolam itu, tanpa disadari ada seorang
lelaki setengah baya menuju ke kolam. Lelaki itu adalah seorang patih dari
sebuah kerajaan di Jawa yang bertugas merawat dan menjaga kolam itu agar tetap
bersih. Taman itu merupakan tempat Raja Jawa beristirahat sepulang dari berburu.
Patih
itu terkejut begitu melihat seorang putri cantik sedang mandi di kolam.
Cepat-cepatlah ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi
putri itu.
“Cantik
sekali putri itu, bagaikan bidadari dari kahyangan,” kagum patih itu, “Tapi,
siapa putri itu dan dari mana asalnya?”
Sang
Patih tiba-tiba teringat pada rajanya yang sedang mencari pasangan untuk
dijadikan permaisuri.
“Raja
pasti tertarik pada putri itu,” pikirnya.
Tanpa
berpikir panjang, Patih itu segera mengambil pakaian sang putri. Rupanya, sang
Putri mengetahuinya. Ketika Putri naik ke darat hendak merebut pakaiannya,
Patih itu segera berlari. Sang Putri pun segera mengejarnya, sang Patih sengaja
memperlambat langkahnya agar sang putri terus mengikutinya hingga ke istana.
Setiba
di istana, Patih itu segera menyerahkan pakaian sang Putri kepada sang Raja.
“Ampun,
Gusti. Hamba mempersembahkan sebuah bingkisan untuk Gusti,” sembah patih itu.
“Hai,
pakaian siapa ini?” tanya sang Raja heran.
“Pakaian
itu milik seorang putri. Putri itu sedang mandi di kolam Gusti,” ungkap patih
itu, “Putri itu cantik jelita bagai bidadari. Barangkali saja Gusti tertarik
padanya.”
“Wah,
kamu memang Patih yang pengertian. Mana putri itu?” tanya sang Raja.
Belum
sempat patih itu menjawab, tiba-tiba Putri Giri Larang muncul dan berteriak.
“Hai,
pencuri. Cepat kembalikan pakaianku!” serunya, “Dasar kalian tidak sopan.
Beraninya mencuri pakaian wanita yang sedang mandi.”
Jantung
sang Raja langsung berdetak kencang saat melihat kecantikan Putri Giri Larang.
Raja tersenyum lalu menyapa sang putri dengan kata-kata lembut.
“Maafkan
kami atas perlakuan patihku, Putri cantik,” ucap sang Raja.
“Hai,
pencuri. Cepat kembalikan pakaianku! Kalau tidak, aku hancurkan seluruh isi
keraton ini!” ancam sang Putri.
“Sabar,
Putri,” ujar sang Raja dengan tenang, “Kami tidak ingin mencari keributan.
Sebaiknya Putri beristirahat dulu, setelah itu kami akan menyerahkan pakaian
Putri.”
Dengan
kata-kata lembut sang Raja, hati Putri Giri Larang akhirnya luluh. Setelah
mandi dan beristirahat, ia pun berunding dengan sang Raja.
“Maaf,
Putri. Kalau boleh saya tahu, siapa sebenarnya Putri dan berasal dari mana?”
tanya sang Raja.
Putri
Giri Larang pun memperkenalkan namanya lalu menjelaskan asal-usulnya. Mendengar
penjelasan itu, sang Raja pun mengungkapkan isi hatinya.
“Begini.
Sebenarnya aku memang sedang mencari istri untuk kujadikan permaisuri.
Kebetulan sekali aku telah bertemu dengan Putri yang selama ini kudambakan.
Bersediakah Putri menjadi permaisuriku?” pinang sang Raja.
Mendengar
permintaan itu, tiba-tiba sang Putri merasa sekujur tubuhnya menjadi lemah.
Kekuatannnya terasa tersedot oleh kekuatan gaib. Pada saat itulah, ia baru
tersadar dan teringat pada nasehat kakaknya dirinya telah melewati perbatasan
sebelah timur sehingga kesaktiannya hilang. Dengan terpaksa, ia pun menerima
lamaran sang Raja.
“Baiklah,
aku terima lamaran Gusti. Tapi, dengan syarat kaum laki-laki tidak mencampuri
urusan perempuan,” pinta sang Putri.
Sang
Raja menyanggupi permintaan itu. Beberapa hari kemudian, pernikahan mereka pun
dilangsungkan dengan amat meriah. Sejak itulah, putri keturunan Pajajaran itu
menjadi permaisuri Raja.
Suatu
hari, Putri Giri Larang menanak nasi, lalu pergi mandi. Beberapa saat kemudian,
diam-diam sang Raja membuka kuali yang airnya sedang mendidih. Ia penasaran
ingin mengetahui istrinya sedang masak apa. Alangkah terkejut dia setelah
membuka kuali itu yang ternyata isinya hanya setangkai padi. Setelah
mengamatinya sejenak, padi itu ia masukkan ke kuali dan menutupnya kembali.
Putri
Giri Larang baru saja selesai mandi dan kembali ke dapur. Betapa marahnya ia
setelah mengetahui padi di dalam kuali tak kunjung matang. Dengan perasaan
kecewa, ia menghampiri suaminya.
“Engkau
telah melanggar janjimu. Engkau telah berani membuka rahasia perempuan,” hardik
sang Putri.
Tanpa
berkata-kata lagi, Putri Giri Larang segera meninggalkan istana menuju keraton
kakaknya. Setiba di sana, ia langsung merangkul kakaknya sambil menangis.
“Maafkan
Dinda! Dinda tidak menghiraukan nasehat Kanda,” tangis sang Putri.
Putri
yang sedang hamil tua itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang telah
dialaminya.
“Sudahlah,
Dinda. Lupakanlah semua kejadian yang sudah lalu,” ujar Giri Layang,
“Beristirahatlah, kasian bayi yang ada di dalam kandunganmu.”
Selang
beberapa hari kemudian, Putri Giri Larang pun melahirkan seorang anak laki-laki
yang diberi nama Adipati Jatiserang. Kehadiran anak itu tentu saja mencemaskan
hati Pangeran Giri Layang. Ia khawatir kalau-kalau tentara kerajaan suami
adiknya datang menyerang hendak mengambil Adipati Jatiserang. Kekhawatiran itu
akhirnya datang juga ketika sang Pangeran mendapat petunjuk dari kakeknya
melalui mimpi bahwa mereka akan datang mengambil keponakannya.
Pangeran
Giri Layang pun segera berunding dengan patihnya Endang Capang serta para
menterinya agar membuat kulah (lubang besar di bawah tanah) sebanyak
empat buah. Keempat kulah itu akan dijadikan sebagai tempat
persembunyian keluarga keraton, termasuk Putri Layang dan putranya. Tak berapa
lama kemudian, tentara kerajaan suami sang Putri yang dipimpin oleh Patih
Mangkunagara dan Patih Surapati pun tiba. Mereka pun langsung mencari Pangerang
Giri Layang serta Putri Giri Larang dan putranya.
“Hai, di
mana Raja kalian?” tanya Patih Mangkunagara, “Kami ke mari mencari Putri Larang
dan putranya.”
“Maaf,
Tuan-Tuan! Pangerang Giri Layang dan Putri Giri Larang sudah wafat. Sementara
Adipati Jatiserang, putra Putri Giri Larang, sedang menutut ilmu ke negeri
seberang,” jawab patih Endang Capang.
Kedua
patih tersebut tidak percaya dengan jawaban itu. Akhirnya, Patih Endang Capang
segera membawa mereka ke tempat Pangeran Giri Layang dan Putri Giri Larang
bersembunyi. Karena tidak percaya, kedua patih Majapahit itu berniat untuk menggali
kulah yang mirip makam tersebut. Namun, baru saja mereka mulai menggali,
tiba-tiba seluruh badan mereka menjadi lemas dan tak bertenaga. Rupanya,
kekuatan mereka terhisap oleh kesaktian Pangeran Giri Layang dari dalam kulah
tersebut. Karena gagal melaksanakan tugas, Patih Mangkunagara pun memerintahkan
tentaranya agar tidak pulang dulu ke istana.
“Para
prajuritku, jangan ada yang pulang ke istana!” ujar patih itu, “Malulah rasanya
pulang dengan tangan hampa. Sebaiknya kita ngalawung (bertemu berhadap-hadapan)
saja di sini sambil menunggu Putri Giri Larang keluar sebab aku yakin ia
bersembunyi.”
Seluruh
tentara pun menetap di tempat tersebut. Untuk mengenang peristiwa ngawalung,
maka tempat itu dinamakan Negara Girilawungan yang kini dikenal dengan sebutan
Babakan Jawa.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Nama Girilawungan dari Jawa Barat.
Ada
pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu akibat buruk dari
sifat tidak mau mendengarkan nasehat seperti Putri Giri Larang, dan akibat
buruk dari sifat ingkar janji seperti sang Raja yang melanggar syarat dari
istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar