Tujuan
dibentuknya VOC adalah sebagai berikut:
- Menghindari persaingan tidak sehat di antara sesame pedagang Belanda sehingga keuntungan maksimal dapat diperoleh.
- Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan bangsa-bangsa Eropa lainnya maupun dengan bangsa-bangsa Asia.
- Membantu dana pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spanyol yang masih menduduki Belanda
Berdirinya VOC
Orang Belanda yang pertama kali datang ke
Indonesia adalah Cornelis de Houtman pada tahun 1596, tepatnya ke daerah
Banten. Dari Banten, Cornelis melanjutkan perjalanannnya ke tiap pusat
rempah-rempah di Maluku. Ia kembali ke negerinya membawa banyak rempah-rempah.
Sejak saat itu para bangsawan Belanda banyak berdatangan ke Indonesia. Agar
tidak terjadi persaingan antar sesame pedagang Belanda, maka pada tahun 1602
didirikan perserikatan perusahaan Hindia Timur atau Vereenigde Ooost-Indische
Compagnie (VOC) yang dipimpin seorang Gubernur Jendral, Pieter Both.
Untuk mengatasi persaingan tidak sehat dan
sekaligus mematahkan dominasi Portugis, seorang anggota parlemen Belanda
bernama Johan Van Oldebanevelt mengajukan sebuah usul, yaitu penggabungan
(merger) seluruh perusahaan datang yang ada di Belanda menjadi satu serikat
dagang.
Usulan tersebut mendapat sambutan baik. Pada
tanggal 20 Maret 1602, berdiri Verenigde Oost Compagnie atau serikat perusahaan
dagang hindia timur, yang biasa dikenal dengan VOC. Dengan modal pertama 6,5
miliar gulden, VOC dipimpin oleh tujuh belas direktur. Mereka
dikenal dengan sebutan Heeren Zeventien.
Kekuasaan VOC Di Maluku
Pieter Both, merupakan Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah tahun
1610-1614 di Ambon (Maluku). Jan Pieterzoon
Coen yang menjabat 1619-1629 merupakan Gubernur Jenderal kedua yang
memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia). Karena letaknya
strategis di tengah-tengah Nusantara memudahkan pelayaran ke Belanda. Sejak
1620, tempat kedudukan gubernur jendral VOC dipindahkan dari Ternate ke
Batavia. Kemudian Maluku dipimpin oleh seorang gubernur jendral yang
berkedudukan di Ternate sebagai markas besar VOC sebelumnya. Gubernur jendral
Ternate tersebut adalah Frederik de Houtman (1621-1623). Antonio Van Diemen (1636-1645), Joan
Maetsycker (1653-1678), Cornelis Speeldman (1681-1684).
Pada masa tiga gubernur jenderal pertama markas besar VOC berkedudukan di
Maluku tepatnya di benteng Oranje Ternate. Namun gubernur jenderal Jan
Pieterzoon Coen berpendapat bahwa perusahaan tersebut memerlukan sebuah pusat
kegiatan yang lebih strategis dan lebih mudah menjangkau daerah operasinya yang
sangat luas. Setelah berpusat di Batavia, VOC melakukan perluasan
kekuasaan dengan pendekatan serta campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di
Indonesia antara lain Ternate, Mataram, Banten, Banjar, Sumatra, Gowa serta Maluku.
Perluasan kekuasaan Belanda ke daerah-daerah luar Jawa benar-benar berbeda
dengan perluasan kekuasaannya di Jawa, karena di sebagian besar daerah luar
Jawa tidak pernah ada alasan yang permanen atau sungguh-sungguh untuk menguasai
oleh pihak Belanda.
Pada seratus tahun pertamanya VOC meraih sukses luar biasa Ia berhasil
meraup keuntungan yang cukup menggiurkan. Keberhasilan ini tak lepas dari
peranan De Heeren XVII yang menangani secara langsung manajenen VOC.
Operasi-operasi di Asia khususnya Indonesia berada dibawah kendali
tangan-tangan termpil. Kemunduran dan
kebangkrutan VOC terjadi sejak awal abad ke-18 disebabkan oleh banyaknya korupsi
yang dilakukan
oleh pegawai-pegawai VOC, anggaran pegawai terlalu besar sebagai akibat
makin luasnya wilayah kekuasaan VOC, banyaknya perang yang dilakukan terhadap penduduk-penduduk pribumi
membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi Indonesia telah terkuras
habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke Negeri Belanda dan
akhirnya VOC tidak kuat lagi membiayai perang-perang tersebut, persaingan
dengan kongsi
dagang negara lain, hutang VOC yang sangat besar, berkembangnya
faham Liberalisme sehingga monopoli perdagangan yang diterapkan VOC tidak sesuai lagi
untuk diteruskan, pendudukan Perancis terhadap negara Belanda
pada tahun 1795.
Kekuasaan
VOC Di Banten
Voc
berhasil menguasai banten karna adanya perang saudara
Sekitar
tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan
ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang
memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat
dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat
mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta
bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini
Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut
dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan
Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah
selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian
ditahan di Batavia.
Sementara
VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih
berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan
Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh
Luhur, di mana pada 14 Desember1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara setelah
terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung
Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan
dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan
pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di
antara mereka, puncaknya pada 28 Januari1684, pos pasukan Willem Kuffeler
dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan
VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari1684 sampai di Batavia.
Penurunan
Bantuan
dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi
kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan
Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh
di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan
perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga
mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah
meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di
Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia.Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan
Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan
oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul
Abidin
dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang
saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan
masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak
ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa
Zainul Arifin,
di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa.Akibat konflik yang
berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa
perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
Penghapusan
kesultanan
Reruntuhan
Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van
Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")
Reruntuhan
Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933
Pada
tahun 1808 Herman Willem
Daendels,
Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan
pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk
memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan
tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak
perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas
Banten dan penghancuran Istana Surosowan.Sultan beserta keluarganya disekap di
Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk.Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq
Zainulmutaqin
kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November
1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah
diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kekuasaan
VOC Di Mataram
Kerajaan
Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya,
termasuk Madura. Negeri
ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma
dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa
akhir menjelang keruntuhannya.
Terpecahnya Mataram
Peta
Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah
Perang Diponegoro.Pada peta ini
terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave di wilayah Kasultanan
Yogyakarta
dan wilayah Belanda.Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di
Yogyakarta.Kelak enklave-enklave ini dihapus.
Amangkurat I memindahkan lokasi
keraton ke Plered (1647), tidak jauh
dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan
"sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan").
Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan
pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa
Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga
dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral),
sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan
pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km
sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti
Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I
(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak
menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana
I (Puger) sebagai raja. Akibatnya
Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat
III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan
politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakarta
dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari
lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah).
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah.Walaupun
demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram.
Kekuasaan VOC Di Gowa
Kesultanan Gowa
atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan.Rakyat
dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar
yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.Wilayah
kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa
dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling
terkenal bergelar Sultan Hasanuddin,
yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar
(1666-1669)
terhadap VOC
yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh
satu wangsaSuku Bugis
dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar
bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan
Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar.Perang
Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
Perjanjian
Bungaya (sering
juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian
yang ditandatangani pada tanggal 18 November1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang
diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang
diwakili oleh Laksamana Cornelis
Speelman.
Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi
kekalahan Gowa dari VOC
(Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC
untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang
dikuasai Gowan).Isi Perjanjian
- Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember1660 harus diberlakukan.
- Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
- Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
- Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
- Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
- Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di
sini atau melakukan perdagangan.
Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar. - Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
- Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
- Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
- Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
- Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
- Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
- Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
- Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
- Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
- Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
- Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
- Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
- Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
- Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
- Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
- Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
- Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
- Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
- Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
- Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
- Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
- Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
- Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
- Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November1667.
Kehancuran
VOC
Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya
dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang
tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan
oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat
tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat
untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah,
dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang
menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.
Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800 – 1801).
Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800 – 1801).
Sebab-Sebab Kehancuran VOC, antara lain :
- Korupsi merajalela di kalangan pegawai pejabat dan hampir semua lini pemerintahan VOC di Nusantara.
- Banyaknya pengeluaran yang terjadi pada masa itu. Ini adalah dampak dari peperangan melawan Iggris.
- Adanya saingan baru di daerah Nusantara seperti Inggris dan Perancis
- Perubahan politik di Belanda juga menyebabkan keruntuhannya.
- Hutang VOC sangatlah besar.
- Lemahnya pasukan militer atau perang VOC
- Mulai tumbuhnya rasa Nasionalisme di daerah Nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar