Kekuasaan voc di Banten
Voc berhasil menguasai banten karna adanya perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan
Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan
putranya Sultan Haji.Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang
saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan
Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang
utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan
serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur
dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada
28 Desember1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan
Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar
mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret1683 Sultan Ageng
tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan
pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf. Pada 5 Mei1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat
letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan
Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di
mana pada 14 Desember1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[14] Sementara
setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri.
Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput
Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia,
mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun
terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari1684, pos pasukan
Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya
menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7
Februari1684 sampai di Batavia.[15]
Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar
dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret1682, wilayah
Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada
Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh
di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22
Agustus1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di
Lampung.[16] Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April1684, Sultan
Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.[17]
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai
mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para
Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda
di Batavia.Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji
namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya
Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan
kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan
ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa
Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya
VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir
pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya
perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa.Akibat konflik yang berkepanjangan
Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan
rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.[13]
Penghapusan kesultanan
Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C.
Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia
Belanda")
Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri
Sultan Banten, pada tahun 1933
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk
mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[19] Daendels memerintahkan
Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga
kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan.Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan
di Benteng Speelwijk.Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan
dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam
wilayah Hindia Belanda.[20]
Kekuasaan VOC di mataram
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan
tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.Negeri ini pernah memerangi VOC di
Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya
malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Terpecahnya Mataram
Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan
pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro.Pada peta ini terlihat bahwa
Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave di wilayah Kasultanan Yogyakarta
dan wilayah Belanda.Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di
Yogyakarta.Kelak enklave-enklave ini dihapus.
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647),
tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan,
melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan").
Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan
pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh
Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum
(1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya,
Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan
istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya,
kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang
karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III
(1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II
(1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga
VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.Akibatnya Mataram memiliki dua
raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.Amangkurat III memberontak dan
menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke
Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa
Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari1755. Pembagian
wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah
era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah.Walaupun demikian
sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Kekuasaan Voc di Gowa
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu
kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi
Selatan.Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di
ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.Wilayah kerajaan ini sekarang berada
di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu
melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap
VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsaSuku Bugis
dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena
pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak
Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar.Perang Makassar adalah perang
terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau
Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18
November1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan
Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis
Speelman.[1] Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah
deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC
untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowan).
Isi perjanjian
Perjanjian yang
ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan
Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus1660,
dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada
tanggal 2 Desember1660 harus diberlakukan.
Seluruh pejabat
dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu
melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim
kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
Seluruh alat-alat,
meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal
Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
Mereka yang
terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus
diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
Raja dan bangsawan
Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling
lambat musim berikut.
Seluruh orang
Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi
diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan.
Tidak ada orang
Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
Hanya Kompeni yang
boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau
"Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh
memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh
melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh
Kompeni.
Kompeni harus
dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
Pemerintah dan
rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa,
Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta
surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa
surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh
ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di
timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya.
Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
Seluruh benteng di
sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang,
Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk
ditempati raja.
Benteng Ujung
Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa
dan tanah yang menjadi wilayahnya.
Koin Belanda
seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
Raja dan para
bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita,
dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya
harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim
berikut.
Raja dan bangsawan
Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
Raja Bima dan
Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
Mereka yang
diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus
dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan,
harus dibayar dengan kompensasi.
Bagi Sultan
Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan
bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya
menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi
dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di
pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah
milik raja Ternate.
Gowa harus
menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua
Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan,
begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah
Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
Raja Layo,
Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus
dilepaskan.
Seluruh negeri
yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan
dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai
hak penaklukan.
Wajo, Bulo-Bulo
dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu
mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
Seluruh laki-laki
Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri
mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan
orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap
tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau
raja yang berwenang.
Pemerintah Gowa
harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus
membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
Persahabatan dan persekutuan
harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore,
Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan
penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
Dalam setiap
sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur
Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak
mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang
setimpal.
Ketika perjanjian
damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan
Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia
untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika
perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting
sebagai sandera selama yang dia inginkan.
Lebih jauh tentang
pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus
dibawa ke Batavia.
Lebih jauh tentang
pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau
mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
Pemerintah Gowa
harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim
berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
Raja Makassar dan
para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan
bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani
dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari
Jumat, 18 November1667.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar